Aqiqah, Bagaimana Cara Menghitung Hari Ketujuh?
AQIQAH
Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyah
Dari Yusuf bin Mahak bahwa mereka pernah masuk menemui Hafshah binti ‘Abdirrahman, lalu mereka bertanya kepadanya tentang aqiqah, maka dia memberitahu mereka bahwa ‘Aisyah pernah memberitahunya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan mereka untuk menyembelih dua ekor kambing yang sama bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing bagi seorang anak perempuan. [HR. At-Tirmidzi, shahih]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang aqiqah, maka beliau menjawab, ‘Allah tidak menyukai kedurhakaan.’ -seolah-olah beliau tidak menyukai nama tersebut-. Maka dikatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya kami bertanya kepadamu, salah seorang di antara kami dianugerahi seorang anak?’ Beliau bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَنْسُكْ عَنْهُ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ.
‘Barangsiapa yang hendak mengaqiqahi anaknya, maka hendaklah dia melakukannya. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan bagi seorang anak perempuan satu ekor kambing.’” [HR. An-Nasa’i, hasan]
Dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (IV/101) melalui jalan al-Hasan dari Samurah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْغُلاَمُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
“Seorang anak itu tertahan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya.”
Hadits ini shahih. Dan al-Hasan telah mendengarnya dari Samurah. Imam al-Bukhari mengatakan: -sebagaimana dalam kitab Fathul Baari (IX/590)- Telah mengatakan kepadaku ‘Abdullah bin Abul Aswad, beliau berkata: Quraisy bin Anas memberitahu kami dari Habib bin asy-Syahid, dia berkata, Ibnu Sirin menyuruhku untuk bertanya kepada al-Hasan dari siapakah dia mendengar hadits tentang aqiqah. Lalu aku bertanya kepadanya, maka dia pun men-jawab, “Dari Samurah bin Jundub.”
Dan makna مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ adalah bahwa ia tertahan untuk memberi syafa’at kepada kedua orang tuanya. Menurut bahasa, kata ar-rahn berarti tertahan. Allah Ta’ala berfirman:
“Tiap-tiap diri tertahan (bertanggung jawab) atas apa yang telah diperbuatnya.” [Al-Muddatstsir: 38]
Lahiriah hadits menunjukkan bahwa tertahan pada dirinya. Di mana ia terlarang dan tertahan dari kebaikan yang dikehendaki. Dan hal tersebut tidak mengharuskan dirinya akan diberikan hu-kuman di akhirat kelak, meskipun ia tertahan (dari memberi syafa’at) akibat tindakan kedua orang tuanya yang tidak mengaqiqahinya. Dan bisa juga seorang anak kehilangan kebaikan disebabkan oleh tindakan berlebihan dari kedua orang tuanya, meskipun bukan dari hasil perbuatannya. Sebagaimana pada saat bercampur, jika dilakukan dengan menyebut nama Allah, niscaya anaknya tidak akan dicelakakan oleh syaitan. Dan jika penyebutan nama Allah itu ditinggalkan, niscaya anak yang dilahirkannya tidak akan mendapatkan penjagaan tersebut. Dinukil dari kitab, Zaadul Ma’aad (II/325). Ibnul Qayyim mengatakan bahwa ini pendapat milik Imam Ahmad.
Di dalam kitab al-Majmuu’ (VIII/406), Imam an-Nawawi mengatakan, “Aqiqah adalah sunnah. Yang dimaksudkan adalah penyembelihan kambing untuk anak yang dilahirkan. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Buraidah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma. Dan aqiqah sama sekali tidak wajib. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan ‘Abdurrahman bin Abi Sa’id dari ayahnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai aqiqah, maka beliau menjawab, ‘Allah tidak menyukai kedurhakaan. Dan orang yang dikaruniai seorang anak, lalu dia hendak (menyukai dalam) mengaqiqahi anaknya itu, maka hendaklah dia melakukannya.’
Dengan demikian, beliau telah menggantungkan hal tersebut pada kesukaran sehingga menunjukkan bahwa ia tidak wajib. Selain itu, karena hal itu merupakan bentuk penumpahan darah tanpa tindak kriminal dan tidak juga nadzar sehingga tidak wajib, sebagaimana halnya hukum kurban.”
[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
BAGAIMANAKAH CARA MENGHITUNG HARI KETUJUH
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Dalam masalah inipun para ulama telah berselisih menjadi dua madzhab.
Madzhab yang pertama : Mengatakan bahwa menghitung jumlah tujuh hari itu ialah dengan memasukkan hari kelahirannya sebagai hari pertama atau dihitung satu hari.
Maka menurut madzhab pertama ini, apabila seorang anak lahir pada hari Ahad misalnya, baik lahirnya pada pagi hari sesudah fajar (shubuh) atau siang hari atau sore hari atau malam hari atau tengah malam sampai sebelum fajar hari Ahad malam Senin sama saja, maka cara menghitungnya sebagai berikut.
1. Hari Ahad hari pertama (hari kelahiran)
2. Senin hari kedua
3. Selasa hari ketiga
4. Rabu hari keempat
5. Kamis hari kelima
6. Jum’at hari keenam
7. Sabtu hari ketujuh yaitu hari penyembelihan atau hari aqiqah.
Sedangkan madzhab kedua : Tidak menghitung hari kelahiran sebagai hari pertama. Jadi cara menghitungnya sebagai berikut.
1. Senin hari pertama
2. Selasa hari kedua
3. Rabu hari ketiga
4. Kamis hari keempat
5. Jum’at hari kelima
6. Sabtu hari keenam
7. Ahad hari ketujuh yaitu hari penyembelihan atau hari aqiqah
Menurut Imam Nawawi madzhab pertamalah yang benar sesuai dengan zhahirnya hadits yakni hadits Samurah bin Jundub, “Disembelih untuknya pada hari ketujuh”. Zhahirnya hari kelahiran dihitung satu hari sebagai hari pertama. Wallahu ‘alam [1]
[Disalin dari buku Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam, Komplek Depkes Jl. Rawa Bambu Raya No. A2, Pasar Minggu – Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 8 hal.431, Tuhfatul Maudud Bab VI Fasal 8.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/271-aqiqah-bagaimana-cara-menghitung-hari-ketujuh.html